- Back to Home »
- Past Future
Posted by : MDLady
Senin, 23 Desember 2013
Sometimes, masa lalu memang seharusnya dibiarkan menjadi masa lalu bukannya ditarik menjadi masa sekarang ataupun masa depan.
Zaman dahulu gue pernah menyia-nyiakan perasaan seseorang, bisa dibilang zaman itu adalah zaman gue sangat 'black' dan gue harap gue ga perlu ngebuka-buka itu zaman lagi, walaupun, saat gue memalingkan kepala memandang ke belakang zaman itu terus menghantui gue dan membuat gue ngga habis pikir 'Astaga, itu beneran gue?'
Saat itu bahkan dia langsung menghilang begitu saja dari hidup gue dan gue ngga punya hak bahkan untuk sekedar menahan dia agar dia mau jadi temen gue. Gue sangat kejam saat itu.
Dan saat emosi gue jauh lebih terkendali, gue udah menutup itu zaman 'black', melangkah maju dengan serius. Tiba-tiba dia ngechat gue, itu hanyalah chatan sederhana, benar-benar sederhana tetapi entah kenapa ngebuat gue seneng banget.
Jujur aja gue ngga nyangka dia bakal mau ngomong lagi sama gue, bahkan gue pikir dia udah ngeblacklist gue dari daftar teman dia. Ternyata gue salah besar menilai dia dan karena gue udah salah menilai dia, gue berjanji gue ngga bakal menyia-nyiakannya lagi entah sebagai teman ataupun lebih dari teman.
Ternyata perasaan sederhana gue ini juga bukan perasaan sebagai teman, gue menyadarinya secepat gue sadar kalau gue butuh makan setiap hari. Gue ngga berharap lebih, benar-benar ngga berharap lebih dan justru ingin agar perasaan ini lekas pergi tetapi itu semua berubah saat gue menuju kampusnya untuk mengikuti sebuah seminar.
Seminar itu diadakan disebuah gedung dan seperti ftv, gue ngeliat dia lagi turun tangga dan cuman bisa lost-of-word. Otak gue yang dari pentium nurun jadi honeywell berusaha mikir keras, berusaha menerima fakta yang berada didepan mata dan bukannya menyangkal apa yang sedang dilihat. Itu dia, utuh dan hidup, nyata, bisa disentuh sampe ditonjok.
Gue memanfaatkan kesempatan dia-ga-kenal-gue dengan pura-pura ngobrol sama temen-temen gue yang lagi ngobrol sama teman-teman mereka. Mata gue ngelirik dia yang berbincang, bertukar sapa sama teman-temannya dan saat dia noleh ke arah gue, seperti ftv, gue buang muka. Selama gue ngelirik hingga buang muka, otak gue berpikir keras 'Apa yang harus gue lakukan?'
Ada beberapa tindakan yang bisa gue lakukan:
1. Negur
2. Pura-pura ngga kenal
3. Pura-pura ngga lihat
4. Pura-pura nyasar.
Diantara semua pilihan dan ingin memanfaatkan kesempatan yang ada, gue milih nomor 1. Itu juga ngga masuk kategori negor karena dia muter didepan gue dan mau gamau gue sama dia saling lihat-lihatan dan dor.
Gue yang ngga terbiasa dengan situasi diluar kendali cuman bisa bengong dan akhirnya ikut seminar. Dua jam gue dan teman gue keluar dan dia ada disana, saat itu pas sekali temannya dia manggil gue dan dia yang ngambil apa yang diberi sama temannya itu. Itu mungkin momen paling canggung/aneh/lost-of-word buat gue yang emang ngga terbiasa lagi sama cowok karna suatu masalah. Dan akhirnya setelah nerima barang itu dari dia, gue dan temen gue pergi dari sana seakan-akan gue seekor kucing dengan buntut kebakar.
Gue yang udah tau kalau ada feeling sama dia dan justru ketemu dia disaat gue harus menghindari dia dan juga chat-chatan sama dia, dengan sedikit keajaiban bisa jadian lagi sama dia. Saat itu gue janji dengan diri gue akan serius sama dia.
Selama gue jadian sama dia, gue ngerasa resah, gue takut gue berlebihan dan terutama gue takut dia jadian sama gue karena ada niat terselubung. Sebut saja gue paranoid karena gue terlalu banyak pengalaman pahit yang ngebuat gue jadi kayak gini.
Ditambah tugas dan jadwal yang emang ngga cocok, keparnoan gue meningkat dan gue ngga heran pada akhirnya saat kita kembali putus.
Saat itu harusnya gue bisa menahan, harusnya bertanya 'kenapa?' atau segalanya. Tetapi pikiran gue kosong karena beberapa alasan:
1. gue bangun kesiangan dihari bapak gue menuju meja oprasi.
2. ngeliat pesan ibu yang nanya udah dijalan atau belum
Gue kalang kabut, pikiran gue cuman terfokus: ketemu-bapak-gue-sekarang. Jadi dengan jawaban seadanya gue buru-buru mandi dan berangkat ke rs.
Hingga oprasi selesai dan sukses, gue masih ngga nyadar apa arti 'putus' bagi gue. Dan saat gue udah lega lalu disuruh pergi beli makan di mall deket rs, gue baru sadar apa arti satu patah kata itu buat gue.
Gue gagal, gue serius dan gue gagal, gue ngga berusaha mempertahankan hubungan disaat gue ada kesempatan, gue memilih mundur daripada merasa sakit hati, dan gue ngerasa jadi pengecut padahal gue ada rasa sama dia. Stupid.
Bahkan mba-mba yang minta identitas gue sampe shock karena gue bilang gue lahir tahun 1945. Satu hal, gue ngga mau ngerasa kosong untuk yang kedua kalinya dan ternyata justru gue merasakan perasaan itu lagi. Jatuh dilubang yang sama.
Sekarang setelah gue dapat berpikir secara rasional, dengan kepala dingin dengan iming-iming liburan, mungkin gue emang salah lagi untuk kesekian kalinya. Mungkin masa lalu memang tidak seharusnya dibawa ke masa sekarang ataupun masa depan. Mungkin memang dari awal gue ngga boleh ngembangin perasaan ini.
Tetapi gue selalu megang prinsip, tidak akan menyesali apapun yang terjadi karena itulah yang membuat diri gue yang sekarang seperti ini. Hahaha